Demokrasi Lokal, Modal Sosial dan Kesejahteraan | Oleh Mohammad Zaki Arrobi


 

Pengantar

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia Indonesia ternyata masih mengandung sejumlah ‘anomali’ demokrasi. Di antara anomali yang harus dijelaskan adalah mengapa demokratisasi yang dijalankan dari tingkat nasional hingga tingkat lokal tidak kunjung jua menghasilkan ‘buah’ berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai suatu pilihan politik, demokrasi dengan prinsip prinsip kebebasan, persamaan dan keberadabannya diyakini akan mengantarkan masyarakat menuju keadilan sosial sesuai cita cita konstitusi. Namun fakta yang berbicara tidaklah demikian, lebih dari satu dekade demokratisasi berjalan tercatat angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Badan Pusat Statistik tahun 2012 mencatat setidaknya ada 30 juta jiwa lebih rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan (BPS)[1]. Kondisi ini tentu paradoksal dengan capaian pembangunan demokrasi kita yang terus membaik, Indeks Demokrasi kita pada tahun 2011 saja mencapai 67,30, studi Larry Diamond misalkan yang membandingkan kualitas demokrasi Indonesia dengan negara negara Asia Selatan, menunjukan  kualitas dan kemajuan demokrasi di Indonesia berkembang lebih pesat.[2]

Persoalan kemiskinan adalah soal hajat hidup orang banyak. Seperti kata Bung Karno bahwa “perut yang lapar tidak bisa menunggu”, ungkapan ini menyiratkan bahwa persoalan kemiskinan tidak bisa tidak membutuhkan jalan keluar yang secepatnya. Oleh karenanya urgensi memecahkan persoalan kemiskinan harus menjadi prioritas utama setiap negara. Kemiskinan juga menjadi salah satu persoalan global yang cukup serius. Maka tak heran jika pemberantasan kemiskinan (eradicate extreme poverty) menjadi point pertama dalam rencana pembangunan global (Millennium Develompment Goals/MDGs) yang telah diratifikasi lebih dari 200 negara tidak terkecuali Indonesia. Alhasil kewajiban mensejahterakan rakyat sudah menjadi tanggung jawab nasional sekaligus global. Dalam paper ini akan dijelaskan secara analitis bagaimana sesungguhnya Indonesia mengalami defisit modal sosial dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, defisit ini berakibat disfungsi disfungsi lembaga negara dan melemahnya masyarakat sipil, akibatnya demokrasi tersendat dan kesejahteraan rakyat pun urung tercapai. Penulis berargumen bahwa sesungguhnya kombinasi antara demokrasi lokal yang bersintesa dengan modal sosial akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, paper ini akan mengulas relasi antara demokrasi lokal, modal sosial dan kesejahteraan serta kontekstualisasinya dengan kondisi kebangsaan Indonesia.

Gelombang Demokratisasi di Aras Lokal

Arus pemikiran yang menghendaki penguatan dan percepatan demokratisasi di aras lokal dewasa ini terus menguat. Sejak dekade 1970an dunia internasional telah menjadikan desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal menjadi sebuah komitmen global. Wacana demokratisasi dan pengarusutamaan lokalitas menjadi diskursus utama intelektual di dunia internasional. Hal ini dipicu oleh runtuhnya Uni Soviet diikuti oleh bankrutnya ideologi fasisme-komunisme, sehingga demokratisasi diyakini sebagai suatu jalan universal menuju kesejahteraan dan kemajuan bagi negara negara di seluruh dunia. Di Indonesia ide ide tentang demokrasi lokal sesungguhnya telah dikenal sejak lama. Sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa kita (the founding fathers) telah berkomitmen menerapkan demokrasi lokal untuk mengelola keragaman masyarakat Indonesia. Selama kurang lebih satu dekade di awal kemerdekaan republik ini belajar dengan sungguh sungguh untuk menerapkan demokrasi dan desentralisasi, namun bangkitnya dua rezim otoriter-represif di negeri ini meluluhlantakan fondasi itu. Rezim ‘demokrasi terpimpin’ Sukarno dan developmentalisme Suharto telah menutup segala ruang ruang politik di aras lokal sekaligus mempraktikkan dengan sempurna gaya sentralisasi kekuasaan yang represif. Sejarah membuktikkan bahwa ketika kekuasaan mempraktikkan gaya sentralistiknya maka bencana kemanusiaanlah yang  terjadi, ketimpangan pusat-daerah, penghisapan sumber daya lokal, pelanggaran HAM berat, hingga kehancuran kearifan lokal menjadi ‘catatan kelam’ rezim otoriter-sentralistik. Perubahan ke arah demokratisasi baru benar benar berlangsung ssat reformasi pecah di tahun 1998.

Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 telah membawa perubahan perubahan yang signifikan bagi tata kelola pemerintahan kita. Watak rezim yang otoritarian berganti menjadi lebih demokratis, pemerintahan yang sentralistik bertransformasi ke desentralisasi dan otonomi daerah, dan bergesernya pendulum politik dari executive heavy ke legislative heavy. Berbagai regulasi pun dibuat untuk menjamin dan mengakselerasi penguatan demokratisasi di aras lokal, Undang Undang No 22 Tahun 1999 adalah bentuk konkret regulasi yang dijiwai semangat desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal. Pilihan terhadap desentralisasi, otonomi daerah dan penguatan demokrasi di tingkat lokal diyakini menjadi jalan menuju pembangunan yang emansipatif, pemerintahan yang demokratis, pengelolaan dan penghargaan terhadap keragaman, mengembangkan kreativitas lokalitas dan menciptakan kesejahteraan bagi segenap masyarakat di daerah daerah seantero nusantara. Pilihan inipun kemudian menjadi suatu spirit reformasi yang menyebar ke seantero negeri, sehingga pengarusutamaan lokalitas menjadi diskursus utama publik paska-reformasi 1998.

Problematika Demokrasi Lokal

Memotret gerakan pengarusutamaan lokalitas di Indonesia sesungguhnya dapat kita lihat sebagai sebuah kondisi yang paradoksal. Di satu sisi banyak kemajuan yang telah dicapai oleh arus demokratisasi di tingkat lokal, seperti tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, pembagian sumber daya yang lebih berkeadilan antara pusat dan daerah, partisipasi masyarakat yang meningkat, dan akuntabilitas serta transparansi yang kian membaik dari tahun ke tahun. Namun di sisi lain gelombang desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal juga mencatat sejumlah problematika yang serius, fenomena maraknya korupsi di tingkat daerah hingga memunculkan ‘raja raja kecil’, gerakan separatis, oligarki kekuasaan elit lokal antara penguasa dan pengusaha, banyaknya daerah yang belum siap mandiri untuk mengelola sumber dayanya, hingga minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejumlah daerah menghiasi wajah demokrasi lokal kita[3].

Dinamika politik lokal di Indonesia juga diwarnai dengan kecenderungan bangkitnya kembali ‘politik identitas’ di sejumlah daerah. Kecenderungan ini dapat dibaca dari berbagai operasi politik operasi politik kalangan elite dominan yang memainkan isu-isu pertentangan agama dan etnis dalam berbagai konfik sosial di seluruh wilayah di Indonesia[4]. Meskipun desentralisasi belum mengha-silkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menggunakan instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik identitas dan dalam skenario politik konsosiasional yang dimanipulasi. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi untuk meraih jabatan kekuasaan lokal. Akibatnya pemerintah daerah dikooptasi oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi untuk kepentingan pragmatis mereka, sementara kesejahteraan rakyat tidak pernah diurus dengan serius. Seluruh problematika ini berpangkal menuju satu titik, kegagalan menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat daerah, sesuatu yang kontradiktif dengan idealitas gerakan pengarusutamaan demokratisasi dan demokrasi lokal.

Modal Sosial : Kajian Teoritik dan Analitis

Modal sosial telah menjadi perhatian akademik yang serius pada bidang politik, sosial, ekonomi hingga kesehatan dalam satu dekade terakhir ini. Kecenderungan ini nampaknya juga berkaitan dengan mainstream dunia internasional untuk memperkuat demokratisasi di tingkat lokal dan upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini misalnya terlihat pada Konferensi Tingka Tinggi (KTT) World Summit For Social Development di Kopenhagen tahun 1995, konferensi ini menghasilkan komitmen untuk mempromosikan penguatan modal sosial di aras lokal dan global sebagai fondasi pengentasan kemiskinan (eradicate poverty). Komitmen Kopenhagen menyiratkan bahwa pembangunan sosial bukanlah melulu pada bagaimana negara memberi pelayanan sosial bagi masyarakat, namun juga pada bagaima modal sosial didorong untuk menjadi suatu jaringan kerja dan relasi relasi asosional untuk membantu mengentaskan kemiskinan. Dalam hal ini penguatan modal sosial dalam setiap proses demokratisasi telah menjadi komitmen global negara negara di dunia.

Konsepsi modal sosial  pertama kali diketengahkan oleh seorang sosiolog asal Amerika, James Coleman. Coleman menyatakan bahwa modal sosial ditetapkan oleh fungsinya. Modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai macam entitas yang berbeda,dengan dua elemen bersama, terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. Sebagaimana bentuk modal lain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan tertentu yang di dalam ketiadaannya akan tidak mungkin. Sebagaimana modal fisik dan modal manusia, modal sosial sama sekali tidak  fungible tetapi mungkin  specific untuk aktivitas tertentu. Tidak seperti bentuk modal lain, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku)[5]. Dengan definisi ini Coleman menempatkan modal sosial sebagai apa saja yang memungkinkan individu atau institusi untuk bertindak, Modal sosial, karena itu, bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu, atau sebuah hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua dari mereka (mekanisme, sesuatu dan hasil) secara simultan. Modal sosial bagi Coleman secara normatif netral, dia diperluakan atau tidak diperlukan, modal sosial hanya memungkinkan tindakan terjadi dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan. Meskipun agak kabur namun studi Coleman telah berhasil membawa perdebatan modal sosial ke dalam diskursus ilmu ilmu sosial yang kemudian dikritik sekaligus diikuti oleh ilmuwan ilmuwan sosial kontemporer lainnya.

Studi James Coleman tentang modal sosial menjadi jalan lapang bagi ilmuan ilmuan sosial lainnya untuk mengelaborasi lebih jauh, diantaranya adalah Robert Putnam. Robert Putnam adalah seorang sosiolog yang melakukan studi stui serius mengenai modal sosial dalam struktur masyarakat Amerika pada tahun 1960an. Robert Putnam mengelaborasi konsepsi modal sosial ala Coleman dengan spektrum yang lebih luas, Putnam melakukan pendefinisian ulang (redefinisi) konsepsi modal sosial sehingga menjadi sangat berpengaruh dalam studi studi pembangunan di dunia. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan tujuan bersama. Putnam berargumen bahwa gagasan inti dari teori modal sosial adalah jaringan sosial yang memiliki nilai, kontak sosial yang akan mempengaruhi produktivitas individu maupun kelompok. Bagi Putnam relasi relasi sosial yang timbul dari hubungan resiprokal akan berkorelasi dengan memiliki nilai sosial dan berkontribusi terhadap produktivitas baik individu maupun kolektif.

Menurut Eko Sutoro gagasan Putnam tentang modal sosial dapat ‘dibaca’ sebagai, Pertama, modal sosial diubah  dari sesuatu yang didapat oleh individu kepada sesuatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas, kota, negara, atau benua. Kedua, modal sosial dapat dipertukarkan dengan masyarakat sipil, ini serupa dengan pandangan baru Tocqueville tentang masyarakat sipil. Jadi, asosiasi sukarela, organisasi non-pemerintah, berdasarkan kepercayaan, menjadi  institusi yang melalui institusi tersebut modal sosial dihasilkan. Ketiga, modal sosial terutama menjadi sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk (a) mempromosikan pemerintah yang baik (demokratis) dan (b) menghasilkan dan membuat keberkelanjutan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi[6]. Jadi berbeda dengan Coleman yang memandang modal sosail netral secara normatif, Putnam memandang lebih positif terhadap kehadiran modal sosial. Bahkan lebih jauh menurut Putnam modal sosial yang melimpah dalam masyarakat akan berkorelasi positif terhadap berjalannya suatu pemerintahan yang demokratis dan pertumbuhan ekonomi yang sustainable.

Modal Sosial dan Kemajuan Ekonomi

Relasi antara modal sosial dan kemajuan ekonomi sesungguhnya telah menjadi diskursus akademik yang menarik. Francis Fukuyama misalnya berargumen bahwa ketersediaan modal sosial akan merangsang tumbuhnya kapital ekonomi, tesis ini didapat Fukuyama setelah melakukan studi di negaranya Jepang. Menurut Fukuyama kehadiran modal sosial seperti kejujuran, toleransi, kerjasama, dan sikap saling percaya (trust) sesama warga negara berkontribusi sangat positif pada terciptanya harmoni sosial dan menjadi basis penting tumbuhnya kapital ekonomi[7]. Senada dengan Fukuyama, Robert Putnam memandang kekayaan modal sosial pada aras lokal selain mempromosikan demokrasi juga menumbuhkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable).

Putnam memandang keberadaan modal sosial berkorelasi secara positif dengan penguatan institusi institusi demokrasi, bahkan melebihi itu modal sosial berbanding lurus dengan keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Tesis Putnam ini didukung oleh studi komparatifnya di Italia Utara dan Italia Selatan. Putnam menemukan bahwa di Italia Utara yang relatif maju tingkat industrialisasinya memiliki kekayaan modal sosial yang lebih melimpah dibanding Italia Selatan, di Italia Utara terdapat kelompok kelompok masyarakat yang berasosiasi secara sukarela yang disebut komune (commune), komune adalah semacam institusi lokal yang dibentuk secara sukarela dan asosiatif. Komune inilah yang mengembangkan tradisi kewargaan yang sangat kuat dalam masyarakat Italia Utara. Sedangkan di Italia Selatan memang juga terdapat komune komune, namun tingkat inovasi dan dinamikanya tidak sebaik di Italia Utara, selain itu relasi relasi sosial masyarakat Italia Selatan juga menampakkan suatu kecenderungan ketidakpercayaan sosial. Selain komune, kawasan Italia Utara juga mempunyai banyak asosiasi kehidupan di tingkat lokal  yang tumbuh dari bawah (bottom-up) dan partisipatif seperti vicinanze  (asosiasi ketetanggaan),  populus  (organisasi pengelola gereja),  consorterie (organisasi pengamanan komunitas), dan lain-lain.  Sementara itu kawasan Italia Selatan (Lazio, Molise,  Camp, Sardegna dan Sisilia), sebaliknya, lebih bersifat feodal, otokratik dan sentralistik yang mereka warisi dari Kerajaan Norman yang berpusat di Sisilia, terutama pada masa kejayaanFrederick II[8]. Dengan kondisi yang demikian dapat dimengerti bahwa daerah daerah di Italia Selatan mengalami ‘defisit’ modal sosial, relasi relasi sosial, kemampuan asosional, kultur demokratis dan semangat desentralisasi sulit berkembang di Italia Selatan. Alhasil menurut Putnam Italia Utara lebih maju dengan industrinya berkat melimpahnya social capital mereka dibanding daerah daerah di Italia Selatan.

Studi Putnam sesungguhnya dapat kita lacak lebih jauh pada pemikiran Alexis De Tocquville . De juga melakukan studi tentang masyarakat Amerika di abad 18, Tocquiville mengamati bagaimana demokrasi di Amerika dapat bertahan dengan sangat kokoh. Melalui studi studi seriusnya di sejumlah daerah daerah di Amerika, Tocquiville menemukan fakta bahwa fondasi demokrasi Amerika adalah melimpahnya asosiasi asiosiasi, hubungan hubungan sipil dan kemampuan untuk bekerja sama dalam masyarakat Amerika kala itu, De Tocquiville menyebutnya sebagai kemampuan asosional. Kemampuan Asosional menurutnya adalah kemampuan untuk menjalin hubungan hubungan sosial dan sikap untuk saling bekerjasama antar sesama anggota masyarakat[9]. Kemampuan asosional untuk saling bekerjasama inilah yang menyebabkan ketangguhan sistem demokrasi di Amerika Serikat, selain itu kemampuan asosional yang melimpah juga membantu meningkatkan kinerja pemerintahan yang demokratis dan pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa ketersediaan modal sosial yang memadai tidak saja akan mempromosikan suatu pemerintahan yang demokratis, namun lebih dari itu akan menghasilkan sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan partisipatoris.

Konteks Indonesia

Dengan memakai paradigma Putnam tentang modal sosial kita dapat membaca realitas demokrasi lokal kita. Potret demokratisasi di aras lokal kita yang dipenuhi dengan sejumlah problematika serius sesungguhnya dapat dilacak dari ketiadaaan modal sosial dalam proses penguatan lokalitas. Demokratisasi pada tingkat lokal selama ini hanya mengutamakan pada aspek legal formal yang cenderung prosedural belaka. Diskursus demokratisasi di aras lokal selama ini hanya terkonsentrasi pada persoalan persoalan seperti kerangka kebijakan dan regulasi, pemilihan kepala daerah (pilkada), otonomi daerah, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga persoalan kelembagaan DPRD,Demokratisasi pada aras lokal yang terjebak pada apek prosedural ini akhirnya hanya berfokus pada kerangka kelembagaan penguatan demokrasi lokal semata, berbagai lembaga untuk menjamin demokrasi lokal dibentuk tanpa melibatkan masyarakat lokal dalam proses proses dialogis perumusan kebijakan.  Wacana publik kita sangat jarang menyentuh pada persoalan bagaimana demokratisasi pada level lokal juga harus didorong oleh kehadiran modal sosial yang kuat dalam upayanya membentuk masyarakat sipil yang kokoh.

Alih alih memperkuat lokalitas ‘demokrasi prosedural’ justru memperlemah lembaga lembaga demokrasi dan struktur sosial masyarakat lokal. Pada tataran substantif, kehadiran modal sosial (social capital) kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal modal sosial sangat penting bagi terciptanya hubungan hubungan sipil yang baik dalam sebagai upaya penguatan masyarakat sipil, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh demokrasi lokal. Tekanan yang berlebihan pada aspek kerangka kelembagaan yang proseduralistik mengakibatkan demokrasi lokal mengalami ‘defisit modal sosial’ sehingga berbagai persoalan muncul ke permukaan. Ketiadaan modal sosial dalam demokrasi lokal mengakibatkan kohesi sosial masyarakat sulit terbentuk yang berakibat pada maraknya konflik konflik horizontal diantara anggota masyarakat, kekerasan sipil, ketiadaan kebajikan sipil (public virtue) dan etika publik yang kontraproduktif bagi pembangunan. Saya hendak berargumen bahwa membuat demokrasi lokal bekerja dengan lebih baik tidak cukup dengan kebijakan kebijakan yang demokratis (transparan, akuntabel, responsif), komitmen elit politik lokal, atau capacity building bagi pemerintahan daerah, melainkan juga harus disokong oleh kekuatan social capital yang kokoh dalam sektor masyarakat sipil.

Demokratisasi di Indonesia yang sudah dijamin secara regulatif sejak tahun 1998 sejatinya telah mengalami defisit modal sosial, mewahnya regulasi dan kerangka kelembagaan formal untuk menunjang demokrasi lokal kita nyatanya tidak diimbangi dengan persediaan modal sosial dalam struktur masyarakat kita. Kemampuan asosional dan relasi relasi sosial sukarela kurang dapat tumbuh dan berkembang di daerah daerah, akibatnya masyarakat sipil di daerah daerah mengalami pelemahan secara perlahan lahan. Alih alih suatu pemerintahan demokratis yang responsif terbentuk, justru oligarki kekuasaan di tangan para elit lokal lah yang merajalela, sehingga program program pembangunan ekonomi tidak memihak rakyat bawah. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki problem kultural serius yang menghambat tumbuhnya demokratisasi di aras lokal.

Kultur feodalistik, otoritarian dan sentralistik telah berurat akar dalam masyarakat Indonesia. Meski revolusi kemerdekaan sudah relatif mengikis struktur dan kultur feodalistik, namun bangkitnya rezim Orde Baru selama tiga puluh dua tahun menyuburkan kembali watak feodal dan sentralistik dalam seluruh kehidupan politik negeri ini. Sisa sisa warisan Orde Baru ini hingga kini masih ada, gaya kepemimpinan yang sentralistik-feodalistik ini masih banyak dijumpai di daerah daerah, kadang kadang watak ini terpersonifikasikan pada pemimpin pemimpin lokal. Banyak kepala daerah yang bergaya ABS (Asal Bapak Senang), ada juga pemimpin daerah berkolusi dengan penguasaha dan justru meniciptakan oligarki kekuasaan baru di tingkat lokal. Gejala ini dapat kita lihat dari maraknya konflik konflik perebutan sumber daya alam di daerah, seringkali korporasi yang dibeking penguasa tampil sebagai pemenang dalam pertarungan ini dan masyarakat lokal lah yang menjadi korban.

Oleh karenanya ke depan agenda demokratisasi di aras lokal harus senantiasa memperkuat ketersediaan modal sosial. Penguatan modal sosial dalam proses politik lokal ini misalnya harus dimulai dengan memperkuat kembali insitusi institusi lokal yang berpotensi menumbuhkan kemampuan kemampuan asosional masyarakat, di desa desa misalkan ada banyak lembaga lokal yang dapat memainkan peran ini, seperti lembaga Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), rembug desa, hingga Badan Pembangunan Desa (BPD). Lembaga lembaga lokal ini mesti diperkuat secara institusional dan kultural, sebab melalui lembaga lembaga lokal inilah modal sosial dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kekayaan kultural untuk menyangga fondasi demokrasi lokal. Jika fondasi demokrasi lokal telah kokoh dengan kekayaan modal sosial yang tersedia, maka suatu pemerintahan yang demokratis akan merangsang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan lebih mudah di capai. Sebagaimana studi Putnam di kawasan Italia Utara, bahwa kekayaan modal sosial akan mendorong produktivitas kerja baik secara individual maupun kolektif.

Kekayaan modal sosial akan membuat pemerintahan lokal berjalan secara efektif (good governance), demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan begitu kebijakan kebijakan publik pemerintah akan kompatibel dengan kebutuhan masyarakat langsung, dan fondasi masyarakat sipil akan menguat sehingga akan semakin mengefektifkan advokasi advokasi sosial kemasyarakatan. Kehadiran modal sosial yang memadai juga akan membuat masyarakat lokal semakin berdaya berkat jejaring sosial yang mereka miliki, kendali kekuasaan politik-ekonomi berada di bawah kontrol dan akses masyarakat lokal, kondisi ini akan mempermudah untuk mengakses dan mengelola sumber daya sumber daya lokal daerah untuk kesejahteraan masyarakat, dengan begitu mimpi kesejahteraan rakyat di bawah daulat masyarakat lokal akan segera terwujud.

[1] Data Strategis Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik, 2011,64

[2] Laporan Riset, Indeks Demokrasi Asia 2011 : Potret Indonesia, Disusun oleh: Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (PUSKAPOL) dan Center for Democracy and Human Rights (DEMOS), 5

[3] Sarjana Sigit, dalam makalah “Demokrasi di tingkat Lokal”, disampaikan pada Seminar “Wajah Demokrasi Indonesia”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Tanggal 30 – 31 Maret 2009 di LPMP Semarang.

[4]  Keeber Van Benda et al eds, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007) 543

[5] John Field, Modal Sosial, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2010), 45

[6] Eko Sutoro, dalam makalah berjudul “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, disampaikan  pada Seminar Internasional  IV “Dinamika Politik  Lokal dan Partisipasi rakyat”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.

[7] Francis Fukuyama, Guncangan Besar : Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta, Gramedia Media Utama, 1999), 245

[8] Robert Putnam, Making Democracy Work : Civic Tradition in Modern Italy, (Princeton, Princeton University Press, 1993) 273

[9] John Stune dan Stephen Mennel, Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan Obor,2005) 97

 

Leave a comment

Your email address will not be published.