Kartini Masa Kini : Merdeka dalam Penjara


Perempuan itu harus pandai memasak!

Perempuan itu harus bisa bersih-bersih rumah!

Perempuan itu harus bisa jahit!

Perempuan itu harus bisa dandan!

Tentu kita masih sering mendengar kalimat-kalimat semacam itu, khususnya orang-orang Jawa yang adat dan budayanya masih sangat kental dan terjaga. Namun hal tersebut terdengar ganjil di telinga saat mengingat sosok Kartini yang di agung-agungkan sebagai seorang pahlawan emansipasi wanita. Karena rasanya perjuangan Kartini hanya sebatas membantu kaum perempuan untuk dapat mengenyam pendidikan lebih baik. Diluar itu, beliau tidak membebaskan kaum perempuan dari stigma masyarakat bahwa wanita tidak harus pandai di bidang-bidang yang sifatnya femim.

 Dimasa sekarang pun masih banyak kita jumpai stigma dari masyarakat bahwa perempuan yang pandai dibidang otomotif tetapi tidak pandai dibidang masak memasak ataupun menjahit, dan sebagainya, dianggap sebagai hal yang menyimpang. Ironisnya lagi, yang memiliki anggapan seperti itu adalah kaum wanita sendiri dimana mereka menilai bahwa perempuan (penulis tidak menggunakan istilah wanita karena wanita sendiri memiliki kepanjangan “wani ditata” yang artinya “berani diatur”) yang tidak bisa memasak, menjahit, berdandan, atau melakuakn pekerjaan rumah lainnya, dianggap bukan perempuan seutuhnya. Seharusnya, sebagai perempuan yang sudah dimerdekakan jangan mau dijajah oleh stigma semacam itu yang memmbuat para perempuan ini merdeka namun masih berada dalam kurungan yang membatasi kebebasan itu.

 Mungkin hal tersebut ada hubungannya dengan perjuangan Ibu Kartini sendiri. Beliau membuka sekolah Kartini, namun materi yang diajarkan tidak jauh dari kehidupan perempuan-perempuan pada masa itu, yaitu memasak, menjahit dan membaca. Menjahit dan memasak merupakan bidang yang wajib dikuasai oleh perempuan pada masa itu. Sehingga rasanya sama saja jika beliau mengajarkan hal tersebut di sekolah Kartini. Seolah-olah sekolah itu didirikan untuk mendidik perempuan pada masa itu agar lebih pandai lagi melayani laki-laki. Oleh sebab itulah konsep emansipasi bagi perempuan Indonesia masa kini, tidak jauh-jauh dari hal-hal feminisme

 Namun bukankah Kartini sekarang seharusnya sudah bebas berekspresi bukan? Tetapi mengapa kita membiarkan hal tersebut terhalangi oleh stigma masyarakat? Seharusnya jika kita peduli terhadap Kartini-Kartini Indonesia yang masih terpenjara ini, kita harus berhenti menjastifikasi mereka dengan stigma-stigma semacam itu. Mengatakan bahwa ‘tidak pantas seorang perempuan jika berpenampilan seperti laki-laki’ atau ‘seorang perempuan harus paham urusan dapur dan urusan kasur’. Kata-kata demikian lah yang membunuh kreatifitas mereka.

 Lebih-lebih lagi masih adanya anggapan jika perempuan harus mencari laki-laki yang derajatnya lebih dari perempuan (pendidikan lebih tinggi dari perempuan, penghasilan lebih tinggi dari perempuan). Hal tersebut semacam mengekang perempuan agar selalu berada dibawah laki-laki. Agar perempuan berada di bawah kedali laki-laki. Jika sekarang sudah memasuki era emasipasi bagi wanita, mengapa kita harus membiarkan tunduk pada anggapan-anggapan semacam ini? Bukankah di era emasipasi wanita, baik perempuan maupun laki-laki itu setara? Mengapa masih harus memikirkan hal semcam ini?

 Oleh sebab itu dihari Kartini ini, mari para Kartini masa kini, jangan mau dikekang oleh stigma masyarakat yang membatasi karya-karyamu. Jangan biarkan para perempuan merdeka tetapi terpenjara. Bebas tapi dihalangi atau dibatasi. Biarkan kartini-kartini ini bebas berkarya tanpa terhalang oleh stigma masyarakat. Apalagi stigma itu diciptakan oleh kaum mereka sendiri. Biarkan setiap perempuan bebas mengekspresikan dirinya dalam berbagai hal dan dengan berbagai cara, tanpa harus terhalang oleh stigma dan norma yang terlalu mengekang.

-One, Sosilogi 2015-

Leave a comment

Your email address will not be published.