Mencoba Bangkit dari Keterpurukan


BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar belakang

            Indonesia akhir-akhir ini sedang dilanda berbagai masalah.Baik masalah internal maupun eksternal.Dari dalam negeri, terjadi korupsi oleh anak bangsa sendiri yang hanya memikirkan diri sendiri.Kemudian konflik antar kelompok yang berlatar belakang agama, ras, dan suku.Ditambah lagi adanya beberapa daerah yang menyatakan untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia.

Ancaman luar pun datang dalam segala bentuk.Dari globalisasi yang tak bisa terhindarkan hingga ancaman kapitalisme yang “dikutuk” oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno.Belum lagi ditambah dengan banyaknya kebudayaan baru yang mencoba memasuki Indonesia. Seperti budaya barat (westernisasi), Jpop (Japanesse pop), Kpop (Korean pop), dan lain-lain

“Pukulan” dari dalam dan luar negeri ini sangat mengancam kedaulatan negara republik Indonesia.Hal ini dapat menggoyangkan identitas Indonesia sebagai bangsa.Padahal Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki sejarah panjang yang menakjubkan.Seperti yang Marsono bilang bahwa “Perjalanan sejarah setelah kemerdekaan sampai sekarang kondisi bangsa Indonesia, khususnya setelah runtuhnya rezim Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, masih serba buram.Apa yang diharapkan oleh masyarakat akan datang zaman yang tertata masih tinggal harapan” (2007:177).

Intinya, berbagai solusi atas tantangan-tantangan yang ada akan percuma apabila kita tidak tahu akar permasalahan sebenarnya ada dimana. Analoginya adalah jika ada rumput liar di halaman seseorang, kemudian orang tersebut mencoba memotongnya dengan gunting rumput. Rumput tersebut akan tumbuh lagi. Karena orang tersebut hanya memotong badan rumput, tapi tidak menghancurkan asal dari pertumbuhan rumput tersebut.

Sama halnya dengan masalah yang dihadapi bangsa ini. Bangsa Indonesia selalu mencoba mengatasi masalah, tapi tidak menemukan apa inti dari permasalahan tersebut. Pertanyaanya sekarang adalah apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia agar dapat bangkit dari keterpurukan? Hal inilah yang akan saya coba bedah pada tulisan kali ini.

BAB II

ISI

 

Sejarah Singkat Bangsa Indonesia

Negara Indonesia merupakan “produk” keberhasilan bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari kekangan para penjajah.Negara Indonesia ini lahir karena adanya kesatuan ide dan mimpi dari bangsa Indonesia.Dimana bangsa Indonesia ini merupakan gabungan individu yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Meskipun mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda, mereka tetap bersatu atas nama bangsa Indonesia dan memerdekakan diri dari penjajahan. Mereka tidak memperjuangkan kelompok masing-masing, tapi mereka berjuang atas nama bangsa Indonesia. Disini terlihat bahwa para pendahulu kita berhasil mengesampingkan kepentingan kelompok masing-masing dan bersatu untuk kepentingan dan kebebasan bersama, yaitu kepentingan dan kebebasan bangsa Indonesia.

Pada awal kebangkitanya, Indonesia dipimpin oleh sosok pemimpin yang sangat berani, Sukarno. Beliau berhasil membangun kesadaran kolektif dari bangsa Indonesia ,yang memiliki keberagaman budaya dan latar belakang, untuk mengusir penjajah dari Nusantara dan memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Fokus utama Sukarno pada saat itu adalah memersatukan bangsa Indonesia dengan cara membuat sesuatu hal menjadi musuh bersama. Contohnya, pada jaman pra kemerdekaan, Sukarno membuat semacam pencitraan terhadap Belanda. Sukarno berusaha memancing semangat bertarung bangsa Indonesia dengan cara menjadikan Belanda musuh bersama. Beliau menjelaskan pada bangsa Indonesia bahwa Belanda menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia, mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, dan berusaha menguasai tanah warisan nenek moyang bangsa.Dengan “provokasi” semacam ini, Sukarno berhasil membuka mata bangsa Indonesia dan menjadikan Belanda sebagai sesuatu hal yang harus dihancurkan bersama.

Kemudian setelah proklamasi, Sukarno menjadikan kapitalisme dan liberalisme sebagai musuh bangsa yang harus dihancurkan, apapun bentuknya.Salah satunya, pada saat Malaysia mulai muncul sebagai negara baru, itupun jika boleh disebut negara. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963 (Kompas, 8 September 2010).Sayangnya konfrontasi terhadap Malaysia ini terganggu akibat gerakan 30 September 1965 di Indonesia, sehingga konfrontasi pun terhenti.

Kepribadian bangsa Indonesia yang telah dibangun Sukarno sebelum kemerdekaan mulai luntur ketika pemerintahan berpindah tangan.Kekuasaan Indonesia berpindah tangan dari Sukarno kepada Suharto.Dalam sistem kepemerintahan Suharto inilah Identitas Indonesia sebagai suatu bangsa mulai pudar.Disintegrasi bangsa mulai terlihat, kelompok kepentingan mengatasnamakan agama, ras, dan suku mulai bermunculan.Ditambah lagi dengan munculnya krisis multi dimensi. Krisis Multi dimensi, yaitu: krisis kepercayaan, krisis ekonomi, krisis politik, krisis pendidikan, dan krisis moral menjadi suatu lingkaran setan (Marsono, 2007:181).

Hal-hal di atas dapat terjadi karena pada masa pemerintahan Suharto terjadi semacam kemmunduran budaya. Kemunduran budaya ini merupakan hal yang sangat vital yang akhirnya mempengaruhi cara masyarakat Indonesia bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini. Melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, Orde Baru Menciptakan penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal (Tim Peneliti LIPI, 2001:54-55).

Sangat disayangkan bahwa kearifan lokal yang telah dengan susah payah Sukarno bangun seharusnya dapat tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Definisi kearifan lokal disini adalah perangkat pengetahuan pada suatu komunitas –baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamanya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat- untuk menyelesaikan persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak (ahimsa-putra, 2007:157). Perlunya diberikan definisi karena pengertian kerifan lokal dan kearifan tradisional terkadang dianggap mempunyai makna yang sama. Padahal kearifan tradisional memiliki pengertian tersendiri yang berbeda dari kearifan lokal. Dimana kearifan tradisional adalah perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan dan yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak (ahimsa-putra, 2007:157)

 

 

MASALAH

Dewasa ini sangat banyak sekali masalah yang dihadapi oleh negeri kita tercinta, Indonesia.Salah satunya kasus korupsi, konflik kelompok yang mengatasnamakan agama, ras, dan suku, eksploitasi sumber daya alam oleh pihak asing, hingga isu separatisme. Masalah ini jika terus didiamkan akan berakibat pada kedaulatan republik Indonesia kedepanya.

Permasalahanya terletak pada bagaimana kita dapat membangun identitas bangsa yang dulu pernah ada? Lalu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan krisis multi dimensi yang ada? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus ada jika kita tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjawabnya.

Masalah pertama muncul ketika pemerintahan mulai jatuh ke tangan Suharto.Pada masa pemerintahan Suharto, beliau melakukan perkembangan ekonomi secara makro dimana jika kita menganalisis dari sisi hasil, ketimpangan dan kesenjangan terjadi oleh ketidakmerataan distribusi hasil pembangunan (Soetomo, 2008:1). Soetomo pun mengatakan,

“apabila sumber masalah diidentifikasi dari sisi proses, maka penyebabnya berupa kurangnya keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pembangunan sejak penentuan masalah dan kebutuhan, perencanaan dan pelaksanaan program. Kurangnya keterlibatan tersebut disebabkan karena peranan negara yang sangat besar dalam proses pengambilan keputusan, termasuk tentang program apa yang seharusnya direncanakan dan dilaksanakan.kurangnya kewenangan dan keterlibatan masyarakat khususnya lapisan bawah ini mengakibatkan posisi mereka menjadi marginal. Berbagai program yang dilaksanakan tidak menyentuh kepentingan langsung mereka.”

Kemudian masalah bertambah ketika terjadi reformasi terjadi pada tahun 1998.Reformasi yang terjadi akibat emosi mahasiswa yang sudah memuncak ini dalam satu sisi membebaskan seluruh rakyat Indonesia untuk berpendapat. Namun disisi lain, hal ini mendorong Indonesia untuk berjalan tanpa arah. Karena krisis multi dimensi yang ada, akhirnya bangsa Indonesia mulai terpecah menjadi kelompok dengan masing-masing kepentingan.

Terakhir, yang membuat permasalahan ini semakin kompleks adalah globalisasi.Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara[1]. Segi postif dari adanya globalisasi adalah pertukaran informasi yang cepat dan mudah.Segi negatifnya adalah adanya budaya luar yang masuk dan menggoyahkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia.Kebudayaan-kebudayaan tersebut bisa goyah karena Indonesia tidak memiliki identitas bangsa yang utuh.Sehingga mudah saja bagi budaya luar untuk mempengaruhi budaya-budaya Indonesia, yang nantinya dapat menghilangkan identitas bangsa.

Disini perlu adanya semacam pembangunan kembali identitas bangsa Indonesia yang telah lama pudar.Identitas bangsa Indonesia yang dulu dibangun oleh Sukarno pudar karena tidak dilestarikan dan rakyat Indonesia jaman sekarang lebih mengutamakan jalan hidup melalui uang.Bukan lagi hidup berdasarkan pada Pancasila, padahal Pancasila adalah dasar negara yang diambil dari nilai-nilai luhur bangsa yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia kembali. Sitohang menjelaskan,

“Maka untuk mencapai iktikad baik dan tekad ikhlas terhadap kepentingan nusa, bangsa dan negara ini oleh Bung Karno ditanamkan rasa nasionalisme yang mendalam.Karena kemerdekaan suatu bangsa yang tidak didukung oleh rasa nasionalisme yang kuat, maka bangsa tersebut akan menjadi boneka yang diombang-ambing tarikan kiri dan kanan pihak luar”.[2]

Penjelasan di atas membuktikan bahwa kita sebagai bangsa harus memiliki identitas yang jelas. Apabila kita telah memiliki identitas yang jelas sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia, kita tidak akan mudah untuk dipengaruhi pihak-pihak lain yang ingin menghancurkan atau memisahkan kita. Identitas bangsa ini bisa kita dapatkan apabila kita menumbuhkan dan memaksimalkan kearifan lokal yang ada.Artinya kita harus memaksimalkan potensi tiap-tiap daerah yang ada.Karena identitas bangsa Indonesia dibentuk oleh kolektivitas kebudayaan yang ada di Indonesia. Seperti yang Ida Bagus Rata jabarkan, “kebudayaan dipandang sebagai modal dasar pembangunan, sumber penggalian jati diri bangsa, serta memiliki peran yang dapat mempersatukan masyarakat dalam hal pengamalan terhadap ajaran agama, pelestarian lingkungan hidup, pendidikan dan juga sebagai pedoman dalam kepemimpinan.(dikutip oleh Luthfi Yondri, 2009:501)

BAB III

PENUTUP

 

            Dari bermacam fakta yang sudah disajikan di atas, kita dapat mengetahui bahwa ada semacam krisis multi dimensi yang sedang terjadi di Indonesia.Krisis ini terjadi akibat pemerintahan Suharto yang “Top-Down” dan pada dasarnya telah menghilangkan semangat kesatuan bangsa Indonesia.Sistem pembangunan ekonomi yang tidak memikirkan aspek-aspek sosial yang ada, seperti kebudayaan. Manusia semua dianggap sama, dengan asumsi bahwa budaya hanya memperlambat geraknya pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, penyamarataan pun harus dilakukan, dengan cara menghilangkan kearifan lokal yang ada.

Disini masalah utamanya, bangsa besar yang terbangun dari kebudayaan yang beraneka ragam, dipaksa untuk melepaskan atribut kebudayaanya tersebut.Maka yang terjadi sekarang adalah adanya kehidupan bangsa yang tanpa arah, tidak memiliki identitas diri, dan tidak ada rasa kesatuan.Hal-hal tersebut terjadi karena adanya pencabutan atribut jati diri atau identitas bangsa secara paksa.

Kearifan lokal yang dulunya membangun bangsa Indonesia ini harus ditemukan dan digunakan lagi sebagai acuan dalam berbangsa dan bernegara.semua itu sebenarnya dapat dimulai dari hal-hal yang kecil. Seperti menceritakan kembali dongeng-dongeng yang penuh dengan nilai moral. Memunculkan kembali permainan dari masing-masing daerah, jika di budaya Sunda contohnya: Sorodot Gaplok, Engkle, Bebentengan. Menumbuhkan minat anak-anak daerah akan musik dan kesenian daerah lainya.

Kemudian kita pun tidak bisa menghindari gerakan globalisasi yang sangat cepat.Artinya disini jika kita tidak bisa hanya menumbuhkan kearifan lokal yang dulu dipakai oleh nenek moyang kita.Kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman yang ada.Misalkan, Jogja Hip-hop Foundation, mereka adalah salah satu contoh kontemporer dari bentuk kearifan lokal.Mereka dapat memadukan kesenian musik jawa dengan jenis musik hip-hop.Mereka berkarya dengan tetap menggunakan kearifan lokal yang ada.Salah satu bukti bahwa kearifan lokal itu tidak “Jadul” seperti yang kebanyakan orang pikir.

Demi terciptanya Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti yang tercantum pada “Pembukaan UUD 1945”, pemerintah dan masyarakat harus dapat bersatu dan melakukan semacam sinkronisasi. Untuk memulainya cukup dengan kerja sama yang terjalin kuat antara pemerintah daerah dengan masyarakat lokal. Pembangunan kearifan lokal di tiap-tiap daerah ini nantinya akan menimbulkan pemikiran bersama yang pada akhirnya akan kembali mempersatukan Indonesia. Namun, pembangunan ini sangat memerlukan peran serta kedua belah pihak, baik dari pemerintahan daerah maupun masyarakat lokal. Hal ini harus benar-benar diperhatikan karena jika keinginan hanya ada pada satu pihak saja, maka program ini tidak akan terjadi dengan baik, bahkan berpeluang memunculkan potensi konflik yang lebih besar.

Kearifan lokal dapat menciptakan kesatuan bangsa karena seperti yang diakatan Marsono bahwa,

“dalam kearifan lokal termuat kristalisasi nilai-nilai, yaitu: nilai pandangan hidup, religiositas, hukum, tata pemerintahan, tata sosial masyarakat, tata pergaulan, etika, dan nilai etos kerja. Indonesia sedang mengalami krisis multi dimensi, yaitu: krisis kepercayaan, krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis pendidikan. Krisis multi dimensi muncul karena amanat kearifan lokalnya tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan menyeluruh (2007:185).”

Marsono pun menyatakan pelaksanaan revitalisasi kearifan lokal dapat dilaksanakan melalui penyadaran, penataran, dan pendidikan baik formal maupun informal.Jadi intinya, hal yang perlu kita lakukan sekarang adalah menumbuhkan kembali kearifan lokal dan mengaplikasikanya dalam kehidupan sehari-hari.Karena kearifan lokal adalah salah satu sumber yang diambil untuk penciptaan Pancasila.

Ketika kita sebagai individu telah dapat menerapkan kearifan lokal dari daerah masing-masing sebagai “the way of life”, maka kesadaran kolektif bahwa kita ini sebuah bangsa yang besar, kesadaran kolektif bahwa kita ini memiliki tanah air yang sama, kesadaran kolektif bahwa kita berbahasa yang sama akan tumbuh dengan sendirinya tanpa perlu dipaksakan.

Kemudian, jika kita sebagai bangsa telah “BERDIKARI”, seperti istilah Sukarno, yaitu berdiri diatas kaki sendiri. Tidak ada negara, tidak ada bangsa, bahkan tidak ada ideologi lain yang dapat menggoyangkan identitas kita sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia!

DAFTAR PUSTAKA

 

Addinata, Hadi, Widjajanto, Permadi, Rochayati, Supriyanto, Maria, 2007, Disintegrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: CIRES.

Cahyafitri, Nandyatama, dan Rahmawati, 2010, “Globalisasi Budaya dan Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Bangsa”, Multiversa, Vol. I, No. I, pp. 109-128.

Hara, A. Eby, 2005, “Nasionalisme Indonesia*Dari Nasionalisme Lokal ke Nasionalisme Kosmopolit?”, Jurnal Politika, Vol. 1, No.2, pp. 7-30.

Kumbara, A.A. Ngr Anom, 2009, “Pluralisme dan Pendidikan Multikultural di Indonesia”, Jantra, Vol. IV, No.7, pp. 531-538.

Pudjomartono, Susanto, 2010, Ganyang Malaysia?, Kompas 8 September 2010 diakses dari  http://nasional.kompas.com/read/2010/09/08/08135067/Ganyang.Malaysia tanggal 17 November 2011.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2009, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Bandung: CV Pustaka Setia.

Sitohang, J.S. Giovani, 1989, Gaya Kepemimpinan Sukarno-Suharto, Jakarta: CV Pustaka Aksara.

Soetomo, 2008, “Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat: Masyarakat Kuat, Negara Kuat, Mengapa Tidak?”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 12, Nomor 1, pp. 1-22.

Supartiningsih, 2007,  “Etika Diskursus Bagi Masyarakat Multikultural: Sebuah Analisis dalam Perspektif Pemikiran Jurgen Habermas”, Jurnal Filsafat, Vol. 17, Nomor 1, pp. 32-59.

Universitas Gadjah Mada, 2007, Kemajuan Terkini Riset 2007, Yogyakarta.

Yondri, Luthfi, 2009, “Nilai Luhur Masyarakat Megalitik Dalam Tatanan Kepemimpinan, Masyarakat, dan Solidaritas”, Jantra, Vol. IV, No. 7, pp. 501-505.

[1]http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1979420-dampak-globalisasi/#ixzz1e0AzkQSP

[2] Sitohang, J.S. Giovani, 1979, Gaya Kepemimpinan Sukarno-Suharto, Jakarta: CV Pustaka Aksara

 

Leave a comment

Your email address will not be published.