Transformasi Radikal Sosiologi


Transformasi Radikal Sosiologi

(Agung Kresna Bayu)

Sosiologi merupakan sebuah kata yang memiliki beragam arti dan penafsiran, sebab sosiologi merupakan bahasan yang diskursus. Saat muncul pertanyaaan apa itu sosiologi, maka secara spontan kita akan berpikir bahwa sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial yang memiliki kekhasan khazanah dalam  membahas dimensi kemasyarakatan. Lantas apakah jawaban tersebut membuat kita puas?, hal ini yang perlu di gali lebih dalam. Sebab setiap pembelajar sosiologi pun memiliki intrepretasi yang berbeda akan makna dan arti sosiologi itu sendiri. Ada yang melacaknya dari asal bahasa yang berarti ilmu tentang masyarakat atau ada yang memandang secara filosofis dari dimensi ontologi, epistimlogi, dan aksiologi. Pandangan tersebut memberikan penjelasan bahwa sosiologi merupakan bahasan yang diskursus, yang mana hasil intrepretasi antara satu orang dan yang lainnya dapat berbeda tergantung bagaimana orang tersebut memberikan perhatian dan kepekaan dalam memandang sosiologi.

Dalam perkembangan sosiologi, di bangku SMA kita mendapatkan pandangan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang  fixed. Pada saat itu kita mengartikan sosiologi sebagai ilmu menjadi orang baik dan saat memecahkan soal sosiologi tinggal kita lihat mana jawaban yang baik bagi kehidupan. Akan tetapi kesadaran akan rimba raya sosiologi baru kita dapatkan pada dunia perkuliahan, bagaimana memandang sosiologi sebagai ilmu yang tidak  fixed. Sosiologi memiliki kekuatan pada posisi tawar menjadi jembatan penghubung beragamnya objek kajian dan kekhasan dalam melihat sebuah fenomena. Di sinilah letak kekuatan sosiologi hari ini, sebab dimensi yang bermain merupakan pertemuan antara akumulasi pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan melihat fenomena sosial.

Salah satu yang menjadi perhatian penulis dalam memandang sosiologi adalah sifatnya, di mana sosiologi merupakan ilmu dengan sifat empiris, teoritis, kumulatif, dan non-etis. Penulis memberikan fokus pada sifat sosiologi sebagai suatu yang non-etis. Non-etis memiliki pengertian sebagai ilmu yang tidak memandang suatu fakta dari baik atau buruknya, tetapi memandangnya secara objektif. Konstruksi sebagai ilmu yang objektif dan netral inilah yang perlu mengalami reintrepretasi. Mungkin saat kita duduk di bangku SMA, kesadaran kita akan sifat ini masih belum terbentuk dan menerimanya begitu saja. Akan tetapi, saat kita sudah melihat dan memiliki kesadaran bersosiologis, maka kita akan memberikan argumen berbeda. Dalam bahasan sosiologi, objektif diyakini sebagai suatu yang semu, meskipun  subjektif bukan kemutlakan. Sifat ini laksana pendulum yang hanya bergerak ke arah kecenderungan tetapi tidak pasti menempati posisi yang mana, sama halnya saat kita melihat sosiologi sebagai llmu non-etis yang tidak berpihak. Kacamata penulis memberikan penajaman bahwa sesungguhnya sosiolog harus memiliki porsi kecenderungan atau keberpihakan dalam melihat sesuatu. Mengapa harus berpihak? hal ini menjadi pertanyaan setiap sosiolog sebab sosiolog tersebut telah keluar dari konstruksi sifat sosiologi sebagai llmu yang bersifat non-etis.

Refleksi mendalam atas aksiologi sebuah ilmu memberikan jawaban bahwa setiap ilmu dikembangkan dengan membawa nilai dasar yang membentuknya, tidak  terkecuali sosiologi. Sebagai ilmu yang berkembang sejalan dengan revolusi industri di Inggris dan sosial di Perancis, dapat dilacak bahwa sosiologi hadir sebagai khazanah baru dalam memandang fenomena sosial dengan dasar paradigma kritik. Hal ini yang mendasari refleksi penulis mengapa sosiolog harus keluar dari jebakan sifat non-etis dan berusaha mengasah kepekaan serta keberpihakan. Sebab, jalinan sejarah perkembangan dengan nilai dasar yang ingin diciptakan memberikan jawaban bahwa setiap ilmu berkembang dengan membawa semangat dan sifat kenabian, maka agar sifat kenabian soisologi itu muncul, sosiolog harus memiliki dimensi keberpihakan dalam memandang suatu fenomena sosial. Sifat kenabian sendiri merupakan sifat yang berkembang atas intrepretasi sifat wajib bagi seorang nabi, seperti tabligh atau menyampaikan, fathanah atau kecerdesan, sidiq atau kejujuran, dan amanah atau dapat dipercaya. Jalinan sifat kenabihan tersebut terbungkus dalam dimensi aksiologis perkembangan sebuah ilmu, oleh karenanya dengan memiliki kepekaan dan keperbihakan dari sosiolog hari ini, maka nilai-nilai kenabiaan dari ilmu sosiologi tersebut akan muncul dan memberikan kemewahan, kekhasan, dan kemenarikan sosiolog hari ini dalam memandang sebuah fenomena sosial.

 

Leave a comment

Your email address will not be published.