[Field Report] Diskusi Bulanan JMSJ


Kamis, 25 Februari 2016

48420

Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS) bekerja sama dengan Jaringan Mahasiswa Sosiologi se-Jawa (JMSJ) mengadakan diskusi bulanan yang mengangkat isu LGBT. Diskusi dengan tema “Pelangi di Matamu : Melihat legalisasi praktek LGBT dari sudut pandang sosiologi keluarga” berlangsung di selasar gedung BC Fisipol UGM dengan jumlah peserta yang hadir lebih dari 50 orang.

Acara

Acara ini sejatinya berlangsung mulai dari pukul 16.00 WIB, namun karena ada sedikit kendala akhirnya acara ini baru dimulai pukul 16.15 WIB. Moderator dalam acara ini seharusnya adalah Dana Z. Hasibuan yang tidak lain merupakan dosen muda dari Jurusan Sosiologi UGM, namun karena beliau berhalangan hadir maka digantikan oleh Mas Zaki Arrobi

Dengan pembawa acara saudara Arif Budi Darmawan (Sosiologi, 2015) acara ini berlangsung dengan kondusif. Diawali oleh mas Zaki menyampaikan pandangannya tentang LGBT dari sudut pandang sosiologi keluarga, kemudian acara dilanjutkan dengan sesi pemaparan pendapat dari para peserta yang hadir. Beraneka ragam latar belakang peserta menjadikan jalannya diskusi ini menjadi sangat mengalir dan kaya akan sudut pandang. Tidak hanya dari sudut pandang Sosiologi saja, namun ada pula yang menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang Psikologi dan Kesehatan.

Diskusi ini pun berakhir pada pukul 18.45 WIB, dengan sebelumnya disampaikan sebuah kesimpulan oleh pembawa acara dan pesan penutup oleh mas Zaki. Peseta pun meninggalkan lokasi dengan tertib dan tidak terjadi kericuhan selama diskusi berlangsung.

Peserta

  148725 c8ed7861c3bda69b399b5ad2eefaac91a36365O

Peserta yang hadir dalam diskusi ini terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu. Walaupun mayoritas peserta yang hadir berasal dari jurusan sosiologi, namun tidak menutup kemungkinan ada beberapa jurusan seperti Hubungan Internasional (HI), Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdk), dan jurusan lainnya yang turut ambil bagian menjadi peserta dalam diskusi ini, yang patut diapresiasi dari acara ini adalah peserta yang hadir merupakan mahasiswa – mahasiswa yang masih kritis dan dapat menyuarakan aspirasinya terhadap isu yang sedang hangat di masyarakat.

Notulensi

 Membaca Perguliran Wacana terhadap Isu LGBT

Zaki Arrobi selaku moderator dalam diskusi ini mula – mula memberi pengantar berupa realitas sosial yang baru – baru saja terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan LGBT. Dalam lingkup Yogyakarta, hampir terjadi bentrok antar dua kubu yang pro dan kontra terhadap LGBT, yaitu SPD dan FUI yang sedang melakukan aksi pada tanggal 23 Februari 2016 lalu. Fenomena ini menggambarkan semakin tingginya resistensi ormas islam terhadap perilkau LGBT. Ormas islam secara gencar menyuarakan penolakannya melalui berbagai media seperti aksi demonstrasi dan juga pemasangan poster – poster penolakan LGBT di berbagai sudut Yogyakarta

Baca Berita : Demo FUI dan SPD terkait LGBT di Tugu, Yogyakarta

Selain itu, pro – kontra juga muncul dari kalangan akademisi, pemuka agama, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan jurnalis. Perdebatan ini pun muncul dari berbagai perspektif, seperti jika dilihat dari aspek agama dan moralitas, LGBT ditentang karena bertentangan dengan hukum agama serta menyalahi kodrat sebagai manusia. Dari segi moralitas, LGBT dianggap berpengaruh besar dalam merusak moralitas bangsa. Namun dari segi HAM yang banyak digaungkan oleh Negara pendukung LGBT, kaum LGBT juga merupakan manusia yang harus dilindungi hak – haknya. Beberapa media seperti The Jakarta Post pun mengambil sisi pro dalam menyampaikan berita tentang LGBT.

Menyoal hak – hak kaum LGBT, Romo Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa kita seharusnya menghargai kaum LGBT dan mengakui keberadaannya sebagai warga Negara Indonesia. Romo Magnis juga menyatakan bahwa kita harus menghormati orientasi seksual orang lain karena itu merupakan pilihan pribadi masing – masing. Meskipun ia menghormati kaum LGBT sebagai warga Negara Indonesia, namun ia menolak legalisasi pernikahan LGBT karena menyalahi salah satu fungsi lembaga keluarga, yaitu meneruskan keturunan dan keberadaan manusia di Bumi.

Biografi Romo Franz Magnis Suseno

Dari pro – kontra yang banyak digaungkan dengan berbagai perspektif, rasanya terlalu sempit jika isu ini hanya dilihat melalui perspektif Sosiologi Keluarga, maka dari itu moderator membawa diskusi ini untuk melihat LGBT dari berbagai perspektif. Namun, diskusi ini tidak sekedar memperdebatkan pro – kontra yang sulit untuk menemukan ujungnya, diskusi ini lebih kepada pembacaan atas perdebatan itu sendiri

Dalam pro dan kontra yang terjadi di Indonesia ini dirasa ada penggiringan opini yang dilakukan oleh suatu golongan terhadap masyarakat awam yang luas untuk melakukan penolakan terhadap kaum LGBT. Penggiringan opini ini gencar dilakukan melalui berbagai medium, dari media massa berskala nasional, hingga melalui spanduk – spanduk penolakan yang dipasang di berbagai sudut kota

Baca Berita : Ini alasan hukum kenapa LGBT harus di tolak

Dalam hal ini juga membangun konstruksi atas nilai normal dan tidak normal. Kaum LGBT dianggap sebagai perilaku menyimpang, tidak normal, bahkan dianggap sebagai penyakit. Sebaliknya, kaum non LGBT adalah manusia normal, yang sehat, yang bertugas membantu kaum LGBT untuk ‘sembuh’ dan kembali ke jalan yang benar, yaitu gender yang sesuai dengan jenis kelamin fisik dan juga hetero seksual sebagai orientasi seksnya.

Penggiringan opini ini mengarah pada tindak kekerasan, yaitu penindasan dan memarjinalkan kaum LGBT. Tentu hal ini berlawanan dengan asa Bhinneka Tunggal Ika, karena seharusnya kita menerima berbagai bentuk perbedaan termasuk perbedaan orientasi seksual. Selain itu juga mengarah pada penyalah artian terhadap demokrasi. Memarjinalkan pihak tertentu termasuk dalam mengekang hak – hak dalam berdemokrasi.

Dalam perguliran wacana soal LGBT, memperjuangkan hak – hak kaum LGBT dianggap sebagai upaya melakukan demokrasi sebaik – baiknya. Bahkan muncul anggapan jika LGBT dilegalkan di Indonesia, maka akan mengubah wajah Indonesia di mata dunia. Indonesia dianggap lebih progresif dalam menyikapi soal kemanusiaan, bahkan semakin memperkuat Indonesia sebagai negara yang demokratis.

Jika disarikan, yang dituntut oleh kaum LGBT adalah persamaan hak dan kebebasan berekspresi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa batas dari kebebasan itu ? Jika memang batas dari kebebasan adalah sejauh tidak merugikan orang lain, hal itu dianggap masih bersifat obyektif. Tidak merugikan bagi satu pihak bisa jadi merugikan bagi pihak lain. Jika tidak ada regulasi yang jelas dan tegas dalam membatasi kebebasan tersebut, maka kemungkinan besar justru yang terjadi ada anomie, bahkan chaos

Baca : Pengertian Anomie dan Pengertian Chaos

Namun, sekali lagi, diskusi ini tidak diadakan untuk memperdebatkan pro dan kontra yang sulit menemukan ujungnya. Diskusi in ijuga tidak bertujuan untuk mencari standing Position yang tepat. Namun, diskusi ini hanya sebatas pembacaan terhadap realita sosial yang terus bergulir dan berkembang. Yang perlu kita lakukan adalah memberikan ruang kepada kaum LGBT untuk beraktualisasi dan berikan hak – haknya sebagai warga Negara. Dalam memperdebatkannya pun kita perlu berhati – hati, jangan sampai memperlakukan standar ganda dalam beragumentasi.

Leave a comment

Your email address will not be published.